Kamis, 19 Januari 2017

Mari Dukung ”Gerakan Mari Belanja di Warung Tetangga”

Berbelanja kebutuhan harian, mingguan atau bulanan keluarga, biasanya kita lakukan di hari libur. Tetapi, bijakkah kita bila membeli jauh-jauh ke pusat belanja “modern”? Coba tengok kebiasaan kita ini. Belanja di swalayan ****Mart atau ****Mart, semua barang memang terpampang. Tapi, hampir tak ada interaksi kemanusiaan. Apalagi pertemanan dan persaudaraan. Bertahun-tahun kita menjadi pelanggan, yang bahkan dibuktikan dengan “kartu pelanggan”, tapi sungguh penjualnya tetap tidak kita kenal. Bahkan pelayanpun kita tak tahu siapa, apa dan bagaimana kehidupan mereka. Komunikasi hanya dengan “pelayan”, ingat bukan “penjual”. Dan hanya seputar transaksi saja. Itupun sekarang diwakili dengan tulisan.

Sementara ketika kita membeli di warung tetangga, selain dekat, juga ada interaksi sosial kemasyarakatan yang akrab. Ada “obrolan”, bukan sekedar transaksi barang yang menghilangkan nilai sosial kemanusiaan kita. Kita jadi tahu, kenal dan dekat dapat silaturahmi dengan masyarakat dan lingkungan. Komunikasi beginilah yang manusiawi. Yang menghubungkan antar orang, komunitas dan masyarakat. Bukan sekedar barang, angka penjualan dan plastik kemasan.
Membeli di warung tetangga akan menumbuhkan kekuatan ekonomi keluarga itu. Kita jadi berperan bagi tegaknya ekonomi dan ketahanan sebuah keluarga. Suami, istri dan anak-anaknya. Dan mereka, berperan sebagai penjual. Berwirausaha. Bukan sekedar menjadi pelayan alias babu dari para pemilik modal kapitalis liberal yang berdalih seragam karyawan. Bayangkan, sampai umur berapa toko-toko modern mau mempekerjakan para pelayan ini? Cuma saat usia muda. Sedang dengan menjadi “penjual” sebenarnya mereka akan “terhidupi” bahkan sampai anak-anak mereka dewasa.

Belum lagi soal efektifitas budget kita. Bayangkan, saya pernah uji coba, membawa uang 100 ribu dan pergi ke toko swalayan modern. Ternyata kurang! Dan lihat belanjaannya. Saya banyak membeli barang yang tak perlu. Karena godaan iklan dan penataan, saya melakukan pemborosan!

Sedang ketika saya ke warung tetangga, uang 100 ribu masih sisa. Barangnya pun sangat fungsional, benar-benar kebutuhan pokok. Dan saya mendapatkan bonus ungkapan penjual yang membahagiakan, “Alhamdulillah syukur ya, pagi-pagi sudah ada yang belanja 75 ribu. Makasih ya bu,” sambil tersenyum tulus. Sungguh itu bonus yang lebih mahal daripada sekedar “obral dan diskon ngakali” yang penuh strategi bisnis.

Jadi berpikirlah sebelum berbelanja! Shopping lah di warung tetangga atau pasar tradisional. Nikmatilah sisi kemanusiaan anda. Disitulah “rekreasi sebenarnya”. Jangan buang waktu anda di swalayan dan supermall modern hanya untuk membeli kebutuhan pokok rumah tangga anda. Warung tetangga jauh lebih murah, manusiawi, menumbuhkan ekonomi, memberdayakan masyarakat, dan ada nilai silaturahmi antar tetangga.
Mau umur panjang dan banyak rejeki? Mari biasakan berbelanja di warung tetangga baik kita.

Sekali lagi “Ayo Selamatkan Warung/Toko dan Pasar Tradisional di sekeliling kita”! (*)

HIKAYAT KOPI

Seorang pria Arab bernama Khalid sedang menggembalakan kambing di wilayah Kaffa, selatan Ethiopia. Dia memperhatikan kambingnya menjadi terlihat lebih bergairah dan bersemangat setelah memakan buahbuahan kecil, seperti beri yang berwarna gelap. Rasa penasaran membuatnya memetik dan membawa pulang buah-buahan yang dimakan sang kambing.

Sesampai di rumah, dimasaklah buah-buahan yang ternyata mengandung biji yang cukup besar itu. Khalid telah membuat minuman kopi pertama dari buah yang awalnya disebut bun itu. Sejak itu, biji kopi diekspor dari Ethiopia ke Yaman pada abad ke-10. Hingga akhir abad ke-15, kopi telah mencapai Makkah dan Turki, baru kemudian bisa dinikmati masyarakat Mesir.

Di Timur Tengah, orang orang sufi menyeruput kopi untuk alasan yang sama dengan peminum kopi saat ini, yakni agar bisa tetap terjaga. Para sufi memerlukan kopi untuk membantu dalam ritual-ritual zikir semalam suntuk. Penganut tarekat diyakini menyebarkan kopi di dunia Arab pada abad 13 sampai 15 M. Karena itulah, kopi menyebar ke seluruh dunia, tak hanya lewat pedagang dan pengelana, tapi juga lewat para jamaah haji.

Diawali seorang syekh dari tarekat Sya dziliyah yang memperkenalkan minum kopi di Ethiopia. Tidak jelas siapa tokoh itu, namun diyakini beliau adalah Abul Hasan Ali ibn Umar yang duduk sebagai hakim di pemerintahan Sultan Sadaddin II di selatan Ethiopia.

Syekh Ali kemudian pulang kembali ke Yaman sambil membawa pengetahuan bahwa biji kopi tak hanya bisa dimakan, tapi juga bisa membuat badan terjaga semalaman. Saat ini, sang syekh dinobatkan sebagai wali bagi para petani kopi dan tentu saja para penikmat kopi. Di Aljazair, kopi kadang disebut sebagai “syadziliyah”, sebagai penghormatan untuk sang wali kopi itu.

Minuman kopi diberi nama qahwa, kata yang biasanya dinisbahkan untuk anggur. Bagi orang Eropa yang mengenal kopi sebagai minuman keren dari Arabia, mereka menyebutnya sebagai “anggur dunia Islam.” Bila para sufi memperkenalkan cara membuat kopi dengan memasak bubuk kopi dalam air, orang Persia menemukan bahwa memanggang biji kopi akan lebih menguarkan aromanya.

Seorang sufi bernama Shadili Abu Bakar ibn Abdullah Alaydrus sangat terpesona dengan efek yang ditimbulkan kopi sehingga dia menciptakan sebuah puisi (qasidah) untuk memuja kopi. Para penikmat kopi pada masa itu bahkan memperkenalkan istilah marqaha untuk euforia dari efek minum kopi.

Shaikh ibn Ismail Ba Alawi menyatakan bahwa meminum kopi yang ditujukan untuk memperkuat ibadah dan keimanan bisa mengantarkan pada kondisi qahwa ma’nawiyah (qahwa yang ideal) dan qahwa al-Sufiyya, kondisi yang menyenangkan ketika seorang hamba Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia tersembunyi di dunia ini dan dunia langit.

Para darwis dari Tarekat Syadziliyah ini termasuk penganut sufi yang paling aktif dalam segala urusan duniawi. Konon, pendiri tarekat ini, Shaikh Abul Hasan asy-Syadzili enggan mengangkat murid yang belum mempunyai pekerjaan. Maka, kopi dipandang memberi manfaat untuk mendongkrak gairah kerja yang pada akhirnya bisa mendorong perekonomian.

Di Makkah, tempat pertemuan para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia Islam, kopi sangatlah populer. Menurut sejarawan Arab, kopi bahkan disajikan di Masjidil Haram. Karenanya, jarang sekali ada acara zikir atau maulid tanpa adanya suguhan kopi. Al Azhar, Mesir, juga menjadi pusat dari acara minum kopi yang kemudian dijadikan ritual resmi. Penulis abad ke-16, Ibnu Abdul Ghaffar, menceritakan mengenai suasana pertemuan para darwis atau penganut sufi di Kairo.

‘’Mereka minum kopi setiap Senin dan Jumat, menyajikannya dalam wadah yang besar terbuat dari tanah liat merah. Sang pemimpin kemudian menyendokkan minuman itu dan membagikan kepada para pengikutnya, mulai dari sebelah kanan, sambil mereka menggumamkan lafaz-lafaz tertentu, biasanya La Ilaha Illallah.’’ Para sufi di Yaman pada masa lalu meminum kopi sambil melafalkan ratib, zikir dengan mengulangulang kata Ya Qawiyyu (Wahai Pemilik Segala Kekuatan) sampai 116 kali.

Legenda kopi melangkah lebih jauh lagi dengan adanya cerita dari Persia bahwa minuman itu pernah disajikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad yang sedang tidur. Cerita lain menyebutkan bahwa Raja Sulaiman pernah menyembuhkan penduduk satu kota yang menderita penyakit misterius dengan menyajikan minuman dari biji kopi yang dipanggang. Konon, hal itu atas perintah Malaikat Jibril.

*)disarikan dari berbagai sumber

Kamis, 05 Januari 2017

Apel Kesetiaan; Tabarrukan Ulama Penyala “Api NU”

PACITAN - Dua hari jelang Apel Kesetiaan NU terhadap NKRI di Pacitan (Sabtu, 7/1/17), para koordinator dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur mulai berdatangan. Ahmad Sudarto, Sekretaris PCNU Magetan, koordinator pelaksana Apel Kesetiaan menyatakan, 75 persen sarana prasarana untuk apel kesetiaan sudah siap. “Malam ini, Kamis (5/1/17) kami rapat koordinasi dan pengecekan teknis penyiapan apel di lokasi,”kata Sudarto.
“Alhamdulillah, Kamis panitia pelaksana yang dipimpin Dr Rubaidi menyempatkan berziarah ke makam waliyyullah, Mbah Kyai Umar Syahid. Apel Kesetiaan ini juga tabarrukan kepada beliau," tambah Sudarto.
Tabarrukan. Kata ini lebih tepat digunakan dalam meneladani ulama yang dalam hidupnya diabdikan untuk menyalakan “Api NU”*.
Enceng Shobirin, salah seorang Tim PKPNU yang ikut sowan kepada beliau pada 4 Desember 2016, di sela-sela pelaksanaan PKPNU PCNU Pacitan Angkatan I, tanggal 2-4 Desember 2016, membuat catatan menarik beberapa saat setelah mendengar ulama kharismatik itu wafat.

*Berikut tulisan Enceng Shobirin*:
Kabar mengenai wafatnya KH. Umar Syahid tidak tersimak tadi malam selepas pertemuan dengan Sahabat Mun'im DZ dan Adnan Anwar. Sangat mengejutkan. Kabar duka melalui WhatsApp itu baru terlihat setelah sampai rumah. Tidak mau tertegun berlama-lama, saya tahlil untuk beliau dan berdo’a “mudah-mudahan husnul khotimah. Amin”.
Masih terbayang di mata saya saat sowan bersama rombongan. Idealisme ke-NU-an dan ke-NKRI-an memancar dalam semangat hidup Mbah KH. Umar Tumbu yang masih sangat membara. Padahal usianya sudah 123 tahun.
Beliau sadar betul dengan kondisi fisiknya yang sudah sepuh sekali, akan tetapi terus mengikuti perkembangan situasi dan kondisi, terutama mengenai NU dan warganya. Sambil tergeletak di pembaringan, beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan.
Secara umum betul apa yang dicatat Sahabat Mun'im? *(baca tulisan sebelumnya).*Beliau memberi contoh bagaimana menghidupi dan merawat NU, memberikan sebagian hartanya untuk NU yang sangat dicintainya, bukan mengambil sesuatu dari NU untuk dimilikinya.
Dengan demikian itu, Mbah Umar Tumbu telah menunjukkan kecintaan yang tulus, pengabdian yang ikhlas untuk menjaga dan menghidupkan NU secara diatas daya upaya dan kemampuan dirinya. Pendekatannya yang sangat mandiri ini terbukti betul sudah mempertahankan "api" hidup NU meski didzolimi dan ditindas begitu rupa oleh rezim Orde Baru.
Istilah *"Api NU"* kiranya cukup menggambarkan bagaimana Mbah Umar Tumbu berkontribusi besar dalam memelihara nyawa NU dari represi Orde Baru. Dicatat oleh para aktivis NU Pacitan; dahsyatnya represi itu tergambarkan oleh lepasnya 106 sekolah NU karena dirampas oleh dua kelompok ormas lain atas nama rezim yang berkuasa. Dan sampai sekarang pun, semua sekolah itu tidak kunjung dikembalikan kepada NU.
Beliau tidak menengok kiri-kanan atau bahkan tidak suka memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh orang lain, apalagi dengan perbuatan yang tidak baik bagi NU. Di tangan beliau, idealisme bukan sesuatu yang abstrak, bukan hayalan, tetapi sesuatu yang kongkret dan bisa diwujud-nyatakan.
Sabahat Mun'im menyebut contoh konkret pembangunan menara mencusuar NU dan sebidang tanah yang sudah diwakafkan beliau kepada NU. Sikap ini betul-betul membuat kita malu dan merasa diri tidak berarti. Apa yang beliau lakukan menjadi tidak bernilai karena beliau bukanlah orang yang bergelimang harta dan rizki, yang kemudian diwakafkan itu hanyalah hasil jualan tumbu dari kampung ke kampung?.
Meski tidak tahu banyak, tapi kita bisa membayangkan kiprah dan kontribusi tidak terhitung yang beliau berikan sepanjang hidupnya, sehingga *"api NU"* itu terpelihara di hatinya, di kalangan warga NU menemui beliau, dan di daerahnya, Pacitan.
Pelajaran yang sudah ditunjukkan secara terang benderang oleh Kyai Kampung yang mulia dan bersahaja ini; bahwa idealisme dan keswadayaan bukan omong kosong tetapi sangat mungkin dilakukan manakala didukung dengan tekad dan semangat dedikasi yang kuat.
Idealisme pendekatan kultural semacam itu bisa saja ditertawakan, atau bahkan dilecehkan oleh sementara kalangan NU, akan tetapi Mbah Umar Tumbu sudah menunjukkan dengan bukti yang tak terbantahkan. Sekaligus kita tarik pelajaran penting, bahwa strategi yang benar untuk mempertahankan dan membangun NU adalah strategi kultural seperti itu.
Dengan pendekatan itu bukan hanya NU bisa bertahan dan tetap dekat serta diterima masyarakat, akan tetapi juga membuat NU bermartabat. Martabat NU akan menjulang tinggi bagai menara mencusuar NU setinggi martabat Mbah Umar Tumbu yang membangunnya.
Mbah Umar Tumbu, mudah-mudahan apa yang panjenengan sudah contohkan itu bisa kami lanjutkan?.
Ya Allah, yang Maha Pengampun, limpahkanlah maghfiroh-Mu kepada beliau dan mohon ditempatkan di surga terbaik bersama para muassis NU. Amin, lahum *Al-Fatihah*. (tim)

posted from Bloggeroid