PACITAN - Dua hari jelang Apel Kesetiaan NU terhadap NKRI di Pacitan (Sabtu, 7/1/17), para koordinator dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur mulai berdatangan. Ahmad Sudarto, Sekretaris PCNU Magetan, koordinator pelaksana Apel Kesetiaan menyatakan, 75 persen sarana prasarana untuk apel kesetiaan sudah siap. “Malam ini, Kamis (5/1/17) kami rapat koordinasi dan pengecekan teknis penyiapan apel di lokasi,”kata Sudarto.
“Alhamdulillah, Kamis panitia pelaksana yang dipimpin Dr Rubaidi menyempatkan berziarah ke makam waliyyullah, Mbah Kyai Umar Syahid. Apel Kesetiaan ini juga tabarrukan kepada beliau," tambah Sudarto.
Tabarrukan. Kata ini lebih tepat digunakan dalam meneladani ulama yang dalam hidupnya diabdikan untuk menyalakan “Api NU”*.
Enceng Shobirin, salah seorang Tim PKPNU yang ikut sowan kepada beliau pada 4 Desember 2016, di sela-sela pelaksanaan PKPNU PCNU Pacitan Angkatan I, tanggal 2-4 Desember 2016, membuat catatan menarik beberapa saat setelah mendengar ulama kharismatik itu wafat.
*Berikut tulisan Enceng Shobirin*:
Kabar mengenai wafatnya KH. Umar Syahid tidak tersimak tadi malam selepas pertemuan dengan Sahabat Mun'im DZ dan Adnan Anwar. Sangat mengejutkan. Kabar duka melalui WhatsApp itu baru terlihat setelah sampai rumah. Tidak mau tertegun berlama-lama, saya tahlil untuk beliau dan berdo’a “mudah-mudahan husnul khotimah. Amin”.
Masih terbayang di mata saya saat sowan bersama rombongan. Idealisme ke-NU-an dan ke-NKRI-an memancar dalam semangat hidup Mbah KH. Umar Tumbu yang masih sangat membara. Padahal usianya sudah 123 tahun.
Beliau sadar betul dengan kondisi fisiknya yang sudah sepuh sekali, akan tetapi terus mengikuti perkembangan situasi dan kondisi, terutama mengenai NU dan warganya. Sambil tergeletak di pembaringan, beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan.
Secara umum betul apa yang dicatat Sahabat Mun'im? *(baca tulisan sebelumnya).*Beliau memberi contoh bagaimana menghidupi dan merawat NU, memberikan sebagian hartanya untuk NU yang sangat dicintainya, bukan mengambil sesuatu dari NU untuk dimilikinya.
Dengan demikian itu, Mbah Umar Tumbu telah menunjukkan kecintaan yang tulus, pengabdian yang ikhlas untuk menjaga dan menghidupkan NU secara diatas daya upaya dan kemampuan dirinya. Pendekatannya yang sangat mandiri ini terbukti betul sudah mempertahankan "api" hidup NU meski didzolimi dan ditindas begitu rupa oleh rezim Orde Baru.
Istilah *"Api NU"* kiranya cukup menggambarkan bagaimana Mbah Umar Tumbu berkontribusi besar dalam memelihara nyawa NU dari represi Orde Baru. Dicatat oleh para aktivis NU Pacitan; dahsyatnya represi itu tergambarkan oleh lepasnya 106 sekolah NU karena dirampas oleh dua kelompok ormas lain atas nama rezim yang berkuasa. Dan sampai sekarang pun, semua sekolah itu tidak kunjung dikembalikan kepada NU.
Beliau tidak menengok kiri-kanan atau bahkan tidak suka memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh orang lain, apalagi dengan perbuatan yang tidak baik bagi NU. Di tangan beliau, idealisme bukan sesuatu yang abstrak, bukan hayalan, tetapi sesuatu yang kongkret dan bisa diwujud-nyatakan.
Sabahat Mun'im menyebut contoh konkret pembangunan menara mencusuar NU dan sebidang tanah yang sudah diwakafkan beliau kepada NU. Sikap ini betul-betul membuat kita malu dan merasa diri tidak berarti. Apa yang beliau lakukan menjadi tidak bernilai karena beliau bukanlah orang yang bergelimang harta dan rizki, yang kemudian diwakafkan itu hanyalah hasil jualan tumbu dari kampung ke kampung?.
Meski tidak tahu banyak, tapi kita bisa membayangkan kiprah dan kontribusi tidak terhitung yang beliau berikan sepanjang hidupnya, sehingga *"api NU"* itu terpelihara di hatinya, di kalangan warga NU menemui beliau, dan di daerahnya, Pacitan.
Pelajaran yang sudah ditunjukkan secara terang benderang oleh Kyai Kampung yang mulia dan bersahaja ini; bahwa idealisme dan keswadayaan bukan omong kosong tetapi sangat mungkin dilakukan manakala didukung dengan tekad dan semangat dedikasi yang kuat.
Idealisme pendekatan kultural semacam itu bisa saja ditertawakan, atau bahkan dilecehkan oleh sementara kalangan NU, akan tetapi Mbah Umar Tumbu sudah menunjukkan dengan bukti yang tak terbantahkan. Sekaligus kita tarik pelajaran penting, bahwa strategi yang benar untuk mempertahankan dan membangun NU adalah strategi kultural seperti itu.
Dengan pendekatan itu bukan hanya NU bisa bertahan dan tetap dekat serta diterima masyarakat, akan tetapi juga membuat NU bermartabat. Martabat NU akan menjulang tinggi bagai menara mencusuar NU setinggi martabat Mbah Umar Tumbu yang membangunnya.
Mbah Umar Tumbu, mudah-mudahan apa yang panjenengan sudah contohkan itu bisa kami lanjutkan?.
Ya Allah, yang Maha Pengampun, limpahkanlah maghfiroh-Mu kepada beliau dan mohon ditempatkan di surga terbaik bersama para muassis NU. Amin, lahum *Al-Fatihah*. (tim)
“Alhamdulillah, Kamis panitia pelaksana yang dipimpin Dr Rubaidi menyempatkan berziarah ke makam waliyyullah, Mbah Kyai Umar Syahid. Apel Kesetiaan ini juga tabarrukan kepada beliau," tambah Sudarto.
Tabarrukan. Kata ini lebih tepat digunakan dalam meneladani ulama yang dalam hidupnya diabdikan untuk menyalakan “Api NU”*.
Enceng Shobirin, salah seorang Tim PKPNU yang ikut sowan kepada beliau pada 4 Desember 2016, di sela-sela pelaksanaan PKPNU PCNU Pacitan Angkatan I, tanggal 2-4 Desember 2016, membuat catatan menarik beberapa saat setelah mendengar ulama kharismatik itu wafat.
*Berikut tulisan Enceng Shobirin*:
Kabar mengenai wafatnya KH. Umar Syahid tidak tersimak tadi malam selepas pertemuan dengan Sahabat Mun'im DZ dan Adnan Anwar. Sangat mengejutkan. Kabar duka melalui WhatsApp itu baru terlihat setelah sampai rumah. Tidak mau tertegun berlama-lama, saya tahlil untuk beliau dan berdo’a “mudah-mudahan husnul khotimah. Amin”.
Masih terbayang di mata saya saat sowan bersama rombongan. Idealisme ke-NU-an dan ke-NKRI-an memancar dalam semangat hidup Mbah KH. Umar Tumbu yang masih sangat membara. Padahal usianya sudah 123 tahun.
Beliau sadar betul dengan kondisi fisiknya yang sudah sepuh sekali, akan tetapi terus mengikuti perkembangan situasi dan kondisi, terutama mengenai NU dan warganya. Sambil tergeletak di pembaringan, beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan.
Secara umum betul apa yang dicatat Sahabat Mun'im? *(baca tulisan sebelumnya).*Beliau memberi contoh bagaimana menghidupi dan merawat NU, memberikan sebagian hartanya untuk NU yang sangat dicintainya, bukan mengambil sesuatu dari NU untuk dimilikinya.
Dengan demikian itu, Mbah Umar Tumbu telah menunjukkan kecintaan yang tulus, pengabdian yang ikhlas untuk menjaga dan menghidupkan NU secara diatas daya upaya dan kemampuan dirinya. Pendekatannya yang sangat mandiri ini terbukti betul sudah mempertahankan "api" hidup NU meski didzolimi dan ditindas begitu rupa oleh rezim Orde Baru.
Istilah *"Api NU"* kiranya cukup menggambarkan bagaimana Mbah Umar Tumbu berkontribusi besar dalam memelihara nyawa NU dari represi Orde Baru. Dicatat oleh para aktivis NU Pacitan; dahsyatnya represi itu tergambarkan oleh lepasnya 106 sekolah NU karena dirampas oleh dua kelompok ormas lain atas nama rezim yang berkuasa. Dan sampai sekarang pun, semua sekolah itu tidak kunjung dikembalikan kepada NU.
Beliau tidak menengok kiri-kanan atau bahkan tidak suka memperbandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh orang lain, apalagi dengan perbuatan yang tidak baik bagi NU. Di tangan beliau, idealisme bukan sesuatu yang abstrak, bukan hayalan, tetapi sesuatu yang kongkret dan bisa diwujud-nyatakan.
Sabahat Mun'im menyebut contoh konkret pembangunan menara mencusuar NU dan sebidang tanah yang sudah diwakafkan beliau kepada NU. Sikap ini betul-betul membuat kita malu dan merasa diri tidak berarti. Apa yang beliau lakukan menjadi tidak bernilai karena beliau bukanlah orang yang bergelimang harta dan rizki, yang kemudian diwakafkan itu hanyalah hasil jualan tumbu dari kampung ke kampung?.
Meski tidak tahu banyak, tapi kita bisa membayangkan kiprah dan kontribusi tidak terhitung yang beliau berikan sepanjang hidupnya, sehingga *"api NU"* itu terpelihara di hatinya, di kalangan warga NU menemui beliau, dan di daerahnya, Pacitan.
Pelajaran yang sudah ditunjukkan secara terang benderang oleh Kyai Kampung yang mulia dan bersahaja ini; bahwa idealisme dan keswadayaan bukan omong kosong tetapi sangat mungkin dilakukan manakala didukung dengan tekad dan semangat dedikasi yang kuat.
Idealisme pendekatan kultural semacam itu bisa saja ditertawakan, atau bahkan dilecehkan oleh sementara kalangan NU, akan tetapi Mbah Umar Tumbu sudah menunjukkan dengan bukti yang tak terbantahkan. Sekaligus kita tarik pelajaran penting, bahwa strategi yang benar untuk mempertahankan dan membangun NU adalah strategi kultural seperti itu.
Dengan pendekatan itu bukan hanya NU bisa bertahan dan tetap dekat serta diterima masyarakat, akan tetapi juga membuat NU bermartabat. Martabat NU akan menjulang tinggi bagai menara mencusuar NU setinggi martabat Mbah Umar Tumbu yang membangunnya.
Mbah Umar Tumbu, mudah-mudahan apa yang panjenengan sudah contohkan itu bisa kami lanjutkan?.
Ya Allah, yang Maha Pengampun, limpahkanlah maghfiroh-Mu kepada beliau dan mohon ditempatkan di surga terbaik bersama para muassis NU. Amin, lahum *Al-Fatihah*. (tim)
posted from Bloggeroid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar